Tuesday, February 17, 2009

Dancing With an Angel- Chapter 1:

ACQUAINTANCESHIP (1)
(Angel Cries All The Time)



Gas pijar yang permukaannya ber-temperatur 6000 Celcius, memanggang Allegro Aisle.

Kota metropolis yang suhu udara mencapai 56 Celcius.

Hampir tiap menit terjadi bentrokan dan kerusuhan. Kerap terjadi penghadangan massa dan berakhir dengan tewasnya orang tak berdosa yang jenazahnya di evakuasi lalu di kubur begitu saja.

Penduduk Allegro Aisle di dominasi oleh manusia dengan emosi labil yang menolak kekuasaan elite politik. Memang hanya soal like and dislike, begitu menonjol dan nyaris menjadi alasan untuk terpicunya aneka konflik.

Konfigurasi politik hampir selalu menjadi pemecah suatu bangsa. Masyarakat Allegro Aisle berteriak bahwa Adagium Vox Populi Vox Dei, suara rakyat suara Tuhan, berubah menjadi Vox Populi Vox Elite, suara rakyat suara elite. Aspirasi publik menjadi indikasi kuat karena dominasi kekuasaan, menjadikan rakyat sebagai limbah besar. Tanpa ada upaya konkrit dan realisasi dari penguasa untuk memperbaiki struktur rakyat yang semakin tertindas globalisasi.

Lady berpikir. Aura Allegro Aisle adalah aroma kematian yang abu. Lady sering melihat orang tak bersalah sekarat karena dibantai massa. Hanya karena orang itu memakai baju hijau dengan detail merah, seperti skema warna bendera Allegro Aisle.

Allegro Aisle disesaki rakyat bodoh yang hanya menepuk jidat dan berkata “haduh” saat petir di siang bolong menyambar mobil yang mereka parkir di tepi jalan. Bahkan gempa sebesar 4 skala ritcher tak membuat Lady ketakutan dan bersembunyi.
Kami, para Allegan, penduduk Allegro Aisle, terbiasa dengan ketidaknyamanan. Tuhan seolah mengutuk tiap jiwa yang mendongak angkuh, seluruh Allegan. Dan, memang hanya sedikit Allegan yang ingat adanya Tuhan.

Allegro Aisle dihuni sekumpulan orang sakit yang hidungnya terbiasa mencium asap mesiu. Sekumpulan orang cacat karena radiasi senjata nuklir dan debu-debu radio aktif yang berasal dari bom nuklir serta reaktor-reaktor atom yang merusak sel tubuh Allegan dan mungkin terciptalah mutasi gen dan merubah Allegan memiliki insting seperti binatang. Entahlah?

Telinga kami lebih sering mendengar suara bising 130 desibel. Telinga kami tuli. Dan, kami sudah tak mampu mendengar alunan ensambel indah atau harmoni melodi musik. Allegan adalah pasukan cacat yang depresi.
Ozon di langit Allegro Aisle semakin menipis. Manusia sinting semakin rajin membuat rumah kaca. Dan, isu pemanasan global semakin terbukti. Manusia seenaknya mengeksploitasi bumi yang kian renta dan Allegan berlomba-lomba menciptakan teknologi destruktif.

Wajar, jika Tuhan marah.

Entah kenapa, tak kunjung datang teguran Tuhan. Sepertinya Tuhan mencampakkan Allegro Aisle menjadi pusat berkumpulnya para manusia primitif yang enggan merehabilitasi jiwa-nya.

Lady mengerti. Sangat mengerti. Dia sendiri kesal. 23 tahun dia hidup di Allegro Aisle. Gemilang kariernya. Berhasil mencapai posisi Top Level Manager di usia relatif muda, karena ke-brilian-annya yang menurut vice president, fantastik. Lady jenuh pada aroganitas di sekelilingnya. Benci berhari- hari otaknya dipenuhi strategic decision making. Rutinitas mengupas otaknya dan lagi-lagi dia hanya bisa mengikuti arus.

Lady lelah. Dia ingin udara segar merebak memenuhi paru-parunya. Dia ingin aroma kematian yang khusyu. Dia ingin bersyukur telah hidup. Walau tak mampu mengubah dunia. Tapi, dia tak ingin menjadi Allegan yang di benci Tuhan.

Lady sangat tertarik, cenderung ambisius untuk pindah, liburan atau mungkin saja tinggal di Crystal Hollow. Dia tahu banyak keberadaan kota mati itu melalui teman virtual, teman chatting-nya yang memiliki id TrueBlood. Setiap waktu Lady memikirkan untuk berhenti dari tempat kerjanya. Menanggalkan kedudukannya sebagai manajer eksekutif dan menyudahi dedikasinya pada perusahaan sparepart itu.

Tapi, Lady kesulitan mendapat biro travel menuju Crystal Hollow. Lady tak bisa menyetir. Dia enggan memiliki mobil pribadi. Percuma. Karena bisa saja sewaktu-waktu petir menyambar, menghanguskan asset bergerak tersebut. Atau bisa saja saat terjebak macet, para demonstran yang tak pernah capek meneriakkan Vox Populi Vox Dei mengobrak abrik dan membakar mobil beserta Lady yang terjebak di dalamnya.

Lady tak mau mati sebelum mencium aroma kematian yang khusyu. Lady lebih suka naik kereta listrik bawah tanah, melewati 4 stasiun, berdesak-desakkan dengan orang yang tak mau gosong di bakar matahari dan para demonstran yang kian menggila, menikmati sejuknya air conditioner 12 derajat di dalam kereta.

Sore itu, Allegro Aisle tetap ricuh sebagaimana biasanya. Sepulang dari kantornya Lady melihat seorang pria mengaduh karena perutnya di tusuk pria tak di kenal yang kesal tanpa sebab. Darah mengucur deras, wajahnya pucat pasi. Seorang anak perempuan menangis memangku kepala, mungkin ayahnya, dan meminta tolong. Gila.

Lady meringis dan mual melihat darah mengucur dan menggenang di trotoar. Dia melihat 2 polisi berlarian dengan muka bosan. Nenek yang men-cat blonde rambut pendek-nya seolah panik, terbata-bata berbicara melalui ponsel memanggil ambulans. Orang-orang lalu lalang, beberapa menonton dengan tatapan kosong, lalu pergi tanpa tersentuh naluri-nya.

Allegan memang gila. Hatinya telah beku dan tak ada lagi empati selain berharap diri mereka tetap hidup meski hanya untuk tetap terus meneguk rootbeer, softdrink favorit mereka.

Lady setengah berlari ketakutan melihat pasukan yang berjalan alot membawa aneka poster. Kebanyakan memuat tulisan besar.
“Bantai Leonard!!”
“Leonard the fucker!!”
“Rakyat adalah dewa!!!”
Atmosfer euphoria reformasi terasa kental. Entah apa yang mereka inginkan.
Sir Leonard, presiden Allegro Aisle benar-benar di kecam dan menjadi tokoh yang paling di benci para demonstran karena kasus money politic yang membuat ekonomi Negara mengalami degresi dan krisis moneter. Para Allegan distrust dan menjadi disobedience, masyarakat yang tidak patuh dan melakukan pembangkangan sosial.

Sir Leonard sendiri entah kemana. Dia menghilang dan gosip simpang siur memenuhi media. Ada yang bilang dia mati dibunuh, gila atau memang melarikan diri. Allegro Aisle terbengkalai. Kareem Ahmad, sang wakil. Kesulitan meng-handle kondisi Negara yang terlanjur morat-marit dan dia hanya mampu menggeleng atas kemerosotan mental Allegan, dia selalu terdiam dalam pidato-nya.

Lady meniti tangga Rosebush Residence, tempat dia tinggal.

(selanjutnya: Dancing With an Angel-Chapter 1: ACQUAINTANCESHIP (2))

6 comments:

  1. *Gila, ini tulisan yang merefleksikan sebuah kanalisasi isu abad mutakhir, tentang krisis politik, reformasi, tentang kecanggihan tehknologi evolusi dan kloning, biomutan. Hal ini saya rasa akan menjalar kepada isu Messias.

    *Setting yang futuristik namun penuh kekacauan menguras emosi sejak awal...,

    *Alur cerita yg rapi cukup enak di nikmati...,

    *1 komentar, Jenius penulisnya tres bien!!!

    ReplyDelete
  2. terimakasih bgt untuk apresiasi dan komentar-nya ya, davi.. semoga aku bisa meng-evaluasi dan meng-upgrade kemampuanku.. amin..

    ReplyDelete
  3. kono noVel wa amari wakaranai kara yonda toki ni mendokusai naa....haha

    ReplyDelete
  4. baru kali ini gw liat novel dengan penulisan yg menunjukan penulis seorang yg cerdas.
    pemilihan kata-kata, kalimat, alur, setting. brillian!!
    gw dukung novel ini!
    (heru ruswandi)

    ReplyDelete
  5. neng penulis, ada hal paling mendasar setelah membaca sebuah novel:
    jika sudah baca kita merasa seru, berarti tuh novel hanya bagus secara cerita en mudah di tangkap (kurang berisi), atau setelah baca kita 'berpikir' dalam berpikir disini adalah sebuah bentuk dari kritis-nya pembaca. en novel yg dibaca itu berisi.
    saran dari saya: novel anda ini berisi, cukup seru.
    -maaf saya agak jaim mengomentari-
    saya takjub pada tulisan anda. sangat orisinil, rapi, dan intelektual. pastinya anda bukan sembarang penulis. anda jenius.

    ReplyDelete
  6. kayak lagi baca buku antropologi kebudayaan dan sejarah2 dicampur "Pintu Terlarang" tapi tetep ada rasa novelnya...masih sangat bercerita, agak "bersinggungan" mirip dengan karya2nya gabriel garcía márquez...super! *two thumbs up!

    ReplyDelete