Wednesday, February 18, 2009

Begin dit Jaar_2009? Hmmm...

Ada banyak masa dalam 2008 yang aku pikir sii..

Tak berarti apa-apa, selain tetap mengukuhkan bahwa diriku seperti ini, seperti sebelumnya, tanpa progress en kemajuan..

Ada masa, justru aku merasakan kemunduran, lalu stuck di satu level, tak bisa melanjutkan ke level selanjutnya..

Begitu banyak kesalahan, yang semestinya dapat aku perbaiki segera, namun aku terlalu lama membuang waktu, mengulur waktu dan akhirnya terbengkalai dan terlupakan..

Ada sekelumit kisah dan konflik yang tak terpecahkan, juga pertanyaan yang belum ditemukan jawabannya..

Hidup penuh syukur ini, aku harus jalani. walau aku sendiri tahu dan yakin. “ini bukan yang aku harapkan”, atau “bukan ini maksudku..”, “bukan ini tujuanku”..

Kadang aku merasa betapa sulitnya meraih yang orang2 begitu mudah mendapatkannya..

Begitu sulit menjadi apa yang aku inginkan.. apa

Aku terlalu muluk meramu impian-ku, sehingga aku sendiri kepayahan meraihnya..

Atau, yah.. mungkin Tuhan belum menunjukkan jalannya untukku hingga waktu yang tepat itu datang?

Kapan?

Karena menunggu penuh harap itu melelahkan. Aku tak bisa selalu terdiam menanti ritme yang harus aku jalani lama dari sekarang.

Sedangkan orang lain telah melesat,

Dan aku merayap?

Hmmm.. hidup..

Dancing With an Angel- Chapter 1:

ACQUAINTANCESHIP (2)
(Angel Cries All The Time)


Rosebush Residence adalah apartemen murah dengan desain bangunan yang jauh dari kata mewah. Berdiri kokoh di pinggiran Allegron Aisle setinggi 8 tingkat dan tampak paling tinggi di sepanjang Prudish Road yang juga tak pernah absen dari konflik sosial. Paling tidak, Prudish Road lebih aman di tempati dibanding pusat kota.


Cat Rosebush Residence sudah mengelupas meninggalkan warna pucat yang abstrak. Di tiap pojok tercium semilir bau pesing dan mata akan terbiasa melihat sampah menjijikkan. Para penghuni Rosebush Residence hanyalah komunitas individual anti sosial yang tidak saling mengenal satu sama lain meski hidup berdampingan. Bahkan, Lady tidak tahu siapa wanita oriental yang sering membawa keluar masuk pria berbeda yang tinggal di sebelahnya. Mereka tidak pernah bertegur sapa apalagi saling mengirim makanan. Jika berpapasan-pun seolah tidak melihat dan memalingkan muka. Adat masyarakat Allegan semakin tergeser. Mereka malah saling mencurigai, diliputi perasaan terancam jika bertemu orang lain.


Mungkin, kau bebas menyanyi lantang atau berlari dengan suara gedebuk gaduh. Tak ada yang peduli tetanggamu mati dan urus saja kehidupanmu sendiri yang sudah tumpang tindih. Ironis.


Lady sempat ingin memberi usul pada Sir Leonard untuk bersembunyi di Rosebush Residence. Ide tolol yang absurd. Untung dia tidak pernah menyampaikan sarannya itu. Jika ya, kayaknya Rosebush Residence, sekarang tinggal reruntuhan bangunan.


Lady menyukai keabnormalan sosialisasi ini, karena kondisi seperti inilah, Rosebush Residence tetap aman. Para demonstran saja lengah dan mungkin enggan menginspeksi Rosebush Residence. Karena sepertinya hanya berisi penghuni kaum miskin yang termarginalkan dan tersisih dengan minimnya nilai estetika Rosebush Residence yang sesungguhnya tidak layak ditinggali. Lady tak ambil pusing, semua sepadan dengan biaya sewa yang sangat murah, di tengah krisis moneter.


Sudah 5 tahun Lady tinggal disana. Lady tak pernah menangis kesakitan karena seseorang menusuk perut hingga ususnya terburai atau ada orang asing memporak-porandakan kamarnya. Selain, gempa yang sering muncul tiba-tiba.


Lady teringat Leon Festinger, teorinya tentang disonansi kognitif yang menjelaskan hubungan antara sikap dan perilaku penghuni Rosebush Residence yang inkonsistensi tidak menyenangkan, tiap individu mengurangi ketidaknyamanan di Rosebush Residence. Toh, saat kau masuk ke kamarmu. Itulah dimensimu. Dan, jika di balik pintu kamar adalah cover, dan kau membencinya. Maka bersenang-senanglah sesukamu di isi, ciptakan dimensi yang kau inginkan.


Peluh membasahi tubuh Lady, riasan make up-nya berantakan. Nafasnya terengah seakan tercekik lehernya . Kakinya melangkah naik menyusuri puluhan anak tangga. Di otaknya terdapat 3 jadwal: mandi, makan salad jagung favoritnya dan chatting dengan TrueBlood, membicarakan keinginannya pergi ( sebenarnya, sih, ingin pindah) ke Crystal Hollow.


Lady tersenyum janggal saat berdiri di depan pintu nomor 176. tertempel tulisan Lady’s Room. NOT LADIES ROOM. Ada police line, do not across. Sengaja dia tempel untuk menghiasi pintu putih pucat tersebut.


Lady menggesekkan kartu hologram magnetic stripe. Dia memutar kenop pintu. Aroma apel dan dinginnya AC menerpa wajahnya. Lady melenggang masuk ke dalam dunianya yang suci dan bersih dari anarki para Allegan gila di pusat kota Allegro Aisle.




Rosebush Residence, nomor 176.


Shangrilla, yang menurut sebagian orang disebut-sebut sebagai serpihan surga, bertempat di dataran tinggi Himalaya. Maka, Rosebush Residence 176, adalah serpihan Shangrilla yang Lady ciptakan berkat jerih payahnya.


Lady pandai menata ruangan menjadi begitu terkesan suci, indah, perfeksionis. Dinding kamar putih polos memberi pandangan luas dan bersih. Lady berani bertaruh, hanya kamarnya yang paling memenuhi klasifikasi hunian layak dan nyaman.


Dalam 1 ruangan dipenuhi beberapa elektronik, hiasan dan furniture cantik. Pojok kanan ruangan adalah tempat favoritnya, terdapat meja dan kursi putar dengan laptop putih di tengahnya. Dapurnya saja mengkilat. Kamar mandi sederhana lengkap dengan bathtub dan shower yang semua berwarna hijau.


Di 176, Lady lebih senang memanjakan dirinya setelah setengah gila beraktivitas selama 10 jam di pusat kota Allegro Aisle. Tak ada yang lebih membuatnya lega, selain mencium aroma apel dan membaringkan sendi tulang yang hampir patah di atas kasur air merah yang besar. Lady merasakan kepuasan dan sedikit bangga karena semua ini dibeli oleh penghasilannya sebagai manajer.


Proyeksi profesional muda yang sukses tersirat jelas di wajah Lady yang lumayan cantik. Karirnya melesat naik karena dia sangat konsisten dan mutakhir. Lady membangun karir dan keterampilannya dengan memegang tanggung jawab primer atas karirnya.


Lady membuat daftar yang sudah lama terpampang menempel di gabus tepat di depan meja pojok kanan.



INTENTIONS

  1. Kenalilah dirimu sendiri. Kekuatan dan kelemahanmu. Bakat yang kau tunjukkan ke majikan. Perencanaan karir personal di awali dengan jujur terhadap diri sendiri.
  2. Kelola reputasi. Jangan one man show dan egois. Tunjukkan prestasi.
  3. Ciptakan dan pertahankan kontak jaringan kerja. Meski mobilitas Allegro Aisle tinggi dan tidak memungkinkan untuk bergabung dalam sebuah asosiasi atau mengikuti konferensi.
  4. Up to date, mengikuti perkembangan terbaru, kembangkan skill yang sangat dibutuhkan.
  5. Jaga keseimbangan antara kompetensi spesialis dan generalis.
  6. Dokumentasikan prestasi, sebagai bukti objektif kompetensi.
  7. Buatlah pilihan anda tetap terbuka. Siapkan rencana kontinjensi untuk bersiap menghadapi yang terburuk.
  8. Konsultasi pada psikolog, apa kau gila dan berhentilah memuji sendiri, Lady!!!


Poin ke 8 memang bukan tulisan Lady. Tulisannya jelek dan garis tulisnya menunjukkan kekesalan dan dendam yang terpendam.


Yah, selain catatan itu. 176 bersih dan terjaga. Stereotipe bahwa penghuni Rosebush Residence adalah rakyat miskin jorok dengan sanitasi buruk dapat dimentahkan jika melihat 176, walau hanya sepintas.


176 ibarat oase di gurun pasir. Oksigen di tengah sesaknya kehidupan Allegro Aisle yang gersang dan penat. Namun, tetap saja tidak bisa membendung keinginan Lady untuk pindah ke Crystal Hollow yang merupakan nilai terminal yang ingin segera Lady wujudkan.


Karena, di luar 176, semua tetap neraka bagi Lady. Membuatnya jengah dan gelisah setiap detiknya.



(selanjutnya: Dancing With an Angel-Chapter 1: ACQUAINTANCESHIP (3))

Tuesday, February 17, 2009

Dancing With an Angel- Chapter 1:

ACQUAINTANCESHIP (1)
(Angel Cries All The Time)



Gas pijar yang permukaannya ber-temperatur 6000 Celcius, memanggang Allegro Aisle.

Kota metropolis yang suhu udara mencapai 56 Celcius.

Hampir tiap menit terjadi bentrokan dan kerusuhan. Kerap terjadi penghadangan massa dan berakhir dengan tewasnya orang tak berdosa yang jenazahnya di evakuasi lalu di kubur begitu saja.

Penduduk Allegro Aisle di dominasi oleh manusia dengan emosi labil yang menolak kekuasaan elite politik. Memang hanya soal like and dislike, begitu menonjol dan nyaris menjadi alasan untuk terpicunya aneka konflik.

Konfigurasi politik hampir selalu menjadi pemecah suatu bangsa. Masyarakat Allegro Aisle berteriak bahwa Adagium Vox Populi Vox Dei, suara rakyat suara Tuhan, berubah menjadi Vox Populi Vox Elite, suara rakyat suara elite. Aspirasi publik menjadi indikasi kuat karena dominasi kekuasaan, menjadikan rakyat sebagai limbah besar. Tanpa ada upaya konkrit dan realisasi dari penguasa untuk memperbaiki struktur rakyat yang semakin tertindas globalisasi.

Lady berpikir. Aura Allegro Aisle adalah aroma kematian yang abu. Lady sering melihat orang tak bersalah sekarat karena dibantai massa. Hanya karena orang itu memakai baju hijau dengan detail merah, seperti skema warna bendera Allegro Aisle.

Allegro Aisle disesaki rakyat bodoh yang hanya menepuk jidat dan berkata “haduh” saat petir di siang bolong menyambar mobil yang mereka parkir di tepi jalan. Bahkan gempa sebesar 4 skala ritcher tak membuat Lady ketakutan dan bersembunyi.
Kami, para Allegan, penduduk Allegro Aisle, terbiasa dengan ketidaknyamanan. Tuhan seolah mengutuk tiap jiwa yang mendongak angkuh, seluruh Allegan. Dan, memang hanya sedikit Allegan yang ingat adanya Tuhan.

Allegro Aisle dihuni sekumpulan orang sakit yang hidungnya terbiasa mencium asap mesiu. Sekumpulan orang cacat karena radiasi senjata nuklir dan debu-debu radio aktif yang berasal dari bom nuklir serta reaktor-reaktor atom yang merusak sel tubuh Allegan dan mungkin terciptalah mutasi gen dan merubah Allegan memiliki insting seperti binatang. Entahlah?

Telinga kami lebih sering mendengar suara bising 130 desibel. Telinga kami tuli. Dan, kami sudah tak mampu mendengar alunan ensambel indah atau harmoni melodi musik. Allegan adalah pasukan cacat yang depresi.
Ozon di langit Allegro Aisle semakin menipis. Manusia sinting semakin rajin membuat rumah kaca. Dan, isu pemanasan global semakin terbukti. Manusia seenaknya mengeksploitasi bumi yang kian renta dan Allegan berlomba-lomba menciptakan teknologi destruktif.

Wajar, jika Tuhan marah.

Entah kenapa, tak kunjung datang teguran Tuhan. Sepertinya Tuhan mencampakkan Allegro Aisle menjadi pusat berkumpulnya para manusia primitif yang enggan merehabilitasi jiwa-nya.

Lady mengerti. Sangat mengerti. Dia sendiri kesal. 23 tahun dia hidup di Allegro Aisle. Gemilang kariernya. Berhasil mencapai posisi Top Level Manager di usia relatif muda, karena ke-brilian-annya yang menurut vice president, fantastik. Lady jenuh pada aroganitas di sekelilingnya. Benci berhari- hari otaknya dipenuhi strategic decision making. Rutinitas mengupas otaknya dan lagi-lagi dia hanya bisa mengikuti arus.

Lady lelah. Dia ingin udara segar merebak memenuhi paru-parunya. Dia ingin aroma kematian yang khusyu. Dia ingin bersyukur telah hidup. Walau tak mampu mengubah dunia. Tapi, dia tak ingin menjadi Allegan yang di benci Tuhan.

Lady sangat tertarik, cenderung ambisius untuk pindah, liburan atau mungkin saja tinggal di Crystal Hollow. Dia tahu banyak keberadaan kota mati itu melalui teman virtual, teman chatting-nya yang memiliki id TrueBlood. Setiap waktu Lady memikirkan untuk berhenti dari tempat kerjanya. Menanggalkan kedudukannya sebagai manajer eksekutif dan menyudahi dedikasinya pada perusahaan sparepart itu.

Tapi, Lady kesulitan mendapat biro travel menuju Crystal Hollow. Lady tak bisa menyetir. Dia enggan memiliki mobil pribadi. Percuma. Karena bisa saja sewaktu-waktu petir menyambar, menghanguskan asset bergerak tersebut. Atau bisa saja saat terjebak macet, para demonstran yang tak pernah capek meneriakkan Vox Populi Vox Dei mengobrak abrik dan membakar mobil beserta Lady yang terjebak di dalamnya.

Lady tak mau mati sebelum mencium aroma kematian yang khusyu. Lady lebih suka naik kereta listrik bawah tanah, melewati 4 stasiun, berdesak-desakkan dengan orang yang tak mau gosong di bakar matahari dan para demonstran yang kian menggila, menikmati sejuknya air conditioner 12 derajat di dalam kereta.

Sore itu, Allegro Aisle tetap ricuh sebagaimana biasanya. Sepulang dari kantornya Lady melihat seorang pria mengaduh karena perutnya di tusuk pria tak di kenal yang kesal tanpa sebab. Darah mengucur deras, wajahnya pucat pasi. Seorang anak perempuan menangis memangku kepala, mungkin ayahnya, dan meminta tolong. Gila.

Lady meringis dan mual melihat darah mengucur dan menggenang di trotoar. Dia melihat 2 polisi berlarian dengan muka bosan. Nenek yang men-cat blonde rambut pendek-nya seolah panik, terbata-bata berbicara melalui ponsel memanggil ambulans. Orang-orang lalu lalang, beberapa menonton dengan tatapan kosong, lalu pergi tanpa tersentuh naluri-nya.

Allegan memang gila. Hatinya telah beku dan tak ada lagi empati selain berharap diri mereka tetap hidup meski hanya untuk tetap terus meneguk rootbeer, softdrink favorit mereka.

Lady setengah berlari ketakutan melihat pasukan yang berjalan alot membawa aneka poster. Kebanyakan memuat tulisan besar.
“Bantai Leonard!!”
“Leonard the fucker!!”
“Rakyat adalah dewa!!!”
Atmosfer euphoria reformasi terasa kental. Entah apa yang mereka inginkan.
Sir Leonard, presiden Allegro Aisle benar-benar di kecam dan menjadi tokoh yang paling di benci para demonstran karena kasus money politic yang membuat ekonomi Negara mengalami degresi dan krisis moneter. Para Allegan distrust dan menjadi disobedience, masyarakat yang tidak patuh dan melakukan pembangkangan sosial.

Sir Leonard sendiri entah kemana. Dia menghilang dan gosip simpang siur memenuhi media. Ada yang bilang dia mati dibunuh, gila atau memang melarikan diri. Allegro Aisle terbengkalai. Kareem Ahmad, sang wakil. Kesulitan meng-handle kondisi Negara yang terlanjur morat-marit dan dia hanya mampu menggeleng atas kemerosotan mental Allegan, dia selalu terdiam dalam pidato-nya.

Lady meniti tangga Rosebush Residence, tempat dia tinggal.

(selanjutnya: Dancing With an Angel-Chapter 1: ACQUAINTANCESHIP (2))

Dancing With an Angel (prolog)

ACQUAINTANCESHIP
(Angel Cries All The Time)

Desisku seperti amulet,
karena kepayang seperti dipsomania.
ketika humus cinta yang awalnya subur dan gembur.
berubah menjadi hancur,
lemur,
seperti lumpur.


Crystal Hollow, kota kecil yang merupakan ibukota Negara Opulence.
Negara yang 75 tahun yang lalu, nyaris menjadi kota mati karena hampir seluruh populasi penduduk terenggut nyawanya dan mati sebagai korban jiwa bencana besar, Violent Tornado.

Opulence memang daerah lintang tinggi yang sering dilanda badai dan bencana, saat itu.

Sejarah memberitahu, bahwa Tornado maut itu berlangsung selama satu jam lima belas menit. Dan melalap habis seluruh organ Negara dan globalisasi yang sedang mencuat. Menjegal regenerasi. Dengan klasifikasi tingkat kerusakan skala F5, serta kecepatan angin 290mph!!

Fenonema tersebut di anggap kiamat.

Kini, Opulence hanyalah Negara sepi yang jarang penduduk.
Katanya, di Crystal Hollow, hanya ada 1 lampu traffic light, mini market. Tak ada mall, tak ada rumah sakit hanya klinik, dan tak ada perusahaan franchise layaknya kota besar.

Sepertinya manusia takut singgah kesana, karena Crystal Hollow seolah beraura kematian. Dan, nyawa seakan memendek jika tinggal disana.

Menarik.
Aku, Lady Oax Hana, semakin menginginkan Crystal Hollow.
Aku penasaran dengan penduduk minoritas yang katanya hanya 320 orang itu.
Apa yang mereka lakukan dengan berpijak pada tanah maut tersebut?
Bagaimana kondisi psikis mereka?
Aku yakin, korban hidup masih ada yang trauma berat.

Aku ingin berada disana, turut merasakan aroma kematian di Crystal Hollow.


(selanjutnya: Dancing With an Angel-Chapter 1: ACQUAINTANCESHIP)

Dancing With an Angel


Ambisi...

Apa yang terlintas di benak saat mendengar kata 'ambisi'?

Sebuah keinginan kuat..
Cita-cita..
Impian..

Harapan..
Keinginan..


Yang memberi kekuatan dan semangat??



Lady Oax Hana
Seorang wanita dengan ambisi kuat.

Mendorong naluri-nya,
untuk melepaskan diri dari belenggu pekat dan erat Allegro Aisle
.
Keadaan memaksanya,
menuntunnya..

untuk menggapai ambisi..

tanpa mempertimbangkan logika dan realita.


Telusuri perjalanannya dalam:


"DANCING WITH AN ANGEL"

Created By: Haibara Fhu

schrijver van korte verhalen


Assalamu'alaikum..

sebenarnya aku terlalu malu untuk berbagi kisah.
Aku merasa tidak memiliki sesuatu yang lebih
dan, apa yang kumiliki hanya hal biasa yang tak pantas untuk diketahui siapapun selain aku sendiri..

tapi, jika aku terus ragu dan tidak yakin dengan apa yang aku miliki..
kapan aku akan memulai?

sementara waktu tidak akan menungguku..
dan dunia terus berputar..

maka, perkenan aku untuk berbagi kisah..
untuk pertama kalinya...


-haibara fhu-



my words...



Tak mampu berbuat lebih...

Tak mampu berkata lebih...

Hanya mampu menulis,
apa yang bisa aku tulis..


Memberi,
apa yang bisa aku beri..


salam: Haibara Fhu